06 Februari 2010

Keberagaman Budaya

Keberagaman budaya adalah sebuah pembahasan yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi sejumlah negara. Bahkan banyak negara yang berpikir untuk mendukung dan menguatkan ide tersebut.Organisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) melakukan lobi di tingkat dunia untuk menindaklanjuti masalah tersebut. Lobi tersebut akhirnya menghasilkan sebuah piagam dunia yang disahkan bulan November tahun 2001 mengenai keberagaman budaya. Piagam ini berusaha mencegah hegemoni budaya AS atas dunia yang dikemas melalui program globalisasi kebudayaan.

Doktor Kadzem Motamadnejad, pakar komunikasi dan anggota komite komunikasi di komisi nasional UNESCO mengatakan, "Piagam UNESCO ini bisa disebut sebagai sebuah kemenangan besar bagi masyarakat dunia. Sebab, dengan disusunnya piagam ini, AS menelan kekalahan pahit setelah menguasai kebudayaan dunia selama bertahun-tahun. Menurut saya, pasca runtuhnya Uni Soviet dan dihancurkannya tembok Berlin, ini adalah kali pertama AS mengalami kekalahan di kancah kebudayaan. Piagam ini disahkan secara mutlak dengan 148 negara setuju, sementara hanya AS dan rezim Zionis Israel yang menentangnya."

Tak syak, benua Asia adalah benua yang paling kaya akan budaya kuno dan pernah mengalami masa keemasan. Kini Asia, tengah melalui periode sejarah yang sangat menentukan. Di saat yang sama, budaya Barat yang dalam hal ini didominasi oleh AS, melakukan serangan luas ke seluruh belahan dunia. Untuk itu, masing-masing bangsa semakin dituntut untuk mempertahankan budayanya.

Baru-baru ini menteri kebudayaan dari 23 negara Asia berkumpul di Cina dalam sebuah konferensi bertema "Globalisasi dan Keberagaman Budaya". Para peserta konferensi menekankan fungsi dan peran kebudayaan dalam proses globalisasi ekonomi dan pembangunan sosial. Para menteri kebudayaan Asia dalam deklarasi konferensi tersebut menyatakan bahwa pertukaran dan kerjasama antar budaya sangat besar artinya bagi menegakkan perdamaian dan kemajuan benua Asia.

Konferensi yang berlangsung di Cina juga mengharap kesiapan semua negara untuk melakukan dialog antar peradaban dengan berdasarkan prinsip kesamaan hak dan menghargai kepentingan masing-masing. Pengukuhan kerjasama dan hubungan antar bangsa dan mekanisme pertukaran antar budaya di benua Asia juga dibicarakan dalam konferensi tersebut. Deklarasi konferensi ini menyebut kebudayaan sebagai inti sebuah bangsa. Deklarasi ini juga menyatakan bahwa keberagaman budaya adalah landasan bagi pembangunan bangsa-bangsa di dunia.

Pada setiap periode sejarah, kebudayaan dan peradaban selalu dipandang sebagai hal yang paling penting dan menentukan dalam hubungan antar manusia. Bangsa Yunani kuno dikenal sebagai bangsa dengan budaya yang kaya. Di belahan dunia Timur, kebudayaan dan peradaban Islam muncul dan berkembang dengan dipengaruhi oleh budaya Arab, Iran dan Turki. Selama beberapa abad, kebudayaan dan peradaban Islam berkembang di kawasan Asia Kecil, Balkan, Iran, Asia Tengah, India, Timur Tengah dan Afrika Utara.

Di abad ke-20 dengan berakhirnya era perang dingin dan berkembangnya teknologi komunikasi, masalah globalisasi menjadi isu yang hangat dibicarakan di seluruh dunia. Dalam dua dekade terakhir, banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai globalisasi. Menurut teori ini, kebudayaan dan peradaban umat manusia adalah faktor penentu dalam hubungan internasional. Para teorisi globalisasi meyakini bahwa pembentukan hubungan politik harus dilandasi pada faktor tersebut. Teori-teori yang dikemukakan oleh para pemikir semisal Samuel Hantington dan Fransis Fukuyama itu, secara umum mempercayai pengaruh budaya dan peradaban dalam transformasi dunia.

Sejarah pernah menyaksikan penyerbuan bangsa-bangsa Barat ke belahan timur dunia. Serbuan itu dilakukan dengan menggunakan kekuatan politik, militer dan budaya. Di abad ke-20, dengan terjadinya perubahan mendasar dalam tatanan politik dan sosial dunia, kaum imperialis menggunakan cara lain untuk melanjutkan aksi penjajahannya. Barat tidak lagi menggunakan bahasa kekerasan untuk menjajah tetapi lebih memfokuskan diri untuk melancarkan serangan budaya ke Timur. Untuk itulah, muncul teori penyamaan budaya seluruh bangsa. Teori ini ditindaklanjuti oleh Barat tanpa memerhatikan budaya bangsa-bangsa lain.

Di permulaan abad ke-21 ini, hubungan antara bangsa mengalami perubahan yang cukup signifikan. Saat ini, jarang ditemukan seorang cendekiawan yang tidak menyadarai bahwa mempertahankan budaya umat manusia sama hanya bisa diwujudkan dengan mempertahankan budaya bangsa-bangsa yang beragam. Sebab, proses globalisasi dan penyeragaman budaya hanya akan berujung pada penguatan satu macam budaya tanpa identitas. Jelas bahwa hal itu akan menggerogoti kebudayaan dan perabadan umat manusia

Pendahuluan

Di antara fenomena atau wujud kebudayaan, yang merupakan bagian inti kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah bagi berbagai tindakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila masalah ini menjadi agenda pembicaraan yang tidak henti-hentinya, terutama di tengah masyarakat yang sedang berkembang karena kebudayaan dalam keseluruhannya akan terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya. Masalah itu bahkan menjadi begitu penting jika dikaitkan dengan dan dimasukkan dalam perspektif pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, tidak terkecuali bagi kita, sebagai masyarakat postkolonial.

Dalam perspektif historis, kita sebagai bangsa telah mengalami berbagai dan berulang kali proses akulturasi, yakni tatkala kita bersemuka dengan kebudayaan-kebudayaan besar dari luar Indonesia, dengan "yang lain", di antaranya: India dengan agama Hindu dan Budhanya, kebudayaan yang menyertai agama Islam, dan kebudayaan Eropa berikut konsep modernisasinya. Dalam sejumlah tulisannya, Umar Kayam telah berkali-kali mengingatkan hal itu.
Akulturasi besar yang terjadi pada masa lampau membuktikan bahwa kita sebagai bangsa mampu menyaring dan menyesuaikan unsur asing itu ke dalam tata kehidupan dengan cara sedemikian rupa, sehingga terasa layak dan cocok serta tak terpaksaan. Kini, kita pun masih berada dalam proses tegursapa dengan "yang lain" itu, terutama dengan budaya Barat, yang dalam kenyataannya telah terlebih dahulu mendunia. Akulturasi ini telah seiring dengan upaya-upaya "pembangunan "di segala bidang.

Pembangunan sebagai Proses

Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam tempo yang relatif cepat, tidak dapat dipungkiri telah membawa kita pada kemajuan iptek, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian (kecil) dari keseluruhan kehidupan bangsa kita, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara si kaya dan si miskin, antara kecanggihan dan keterbelakangan. Oleh karena itu, penyimakan yang cermat dan saksama terhadap masalah-masalah budaya yang muncul mengiringinya merupakan suatu hal yang sama sekali tak boleh diabaikan.

Dalam hubungan itu, salah satu butir yang direkomendasi oleh World Conference on Cultural Policies (1982) akan menemukan relevansinya: 'kebudayaan merupakan bagian yang fundamental dari setiap orang serta masyarakat, dan karena itu pembangunan yang tujuan akhirnya diarahkan bagi kepentingan manusia harus memiliki dimensi kebudayaan'.

Harkat dan martabat suatu bangsa, di samping hal-hal lain, juga ditentukan oleh tingkat kebudayaannya. Demikian pula, keunggulan budaya suatu bangsa, begitu bergantung pada daya dukung masyarakatnya sebagai pewaris sekaligus sebagai agen kultural yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat tersebut. Dalam konteks semacam inilah situasi "sadar budaya," yakni, di satu sisi, kesadaran terhadap keserbanekaan bahwa kita sebagai bangsa tidak pernah selalu bersifat singular, tetapi plural; sementara pada sisi lain, kita pun tidak bisa mengisolasi diri untuk tidak bergaul dengan bangsa-bangsa lain berikut budayanya, menjadi semacam imperatif yang mendesak untuk diaktualisasikan lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di dalamnya lewat "pendidikan" (baca: pembudayaan) apa pun bentuk pendidikan itu: formal-informal.

Sadar Budaya

Apabila situasi sadar budaya tersebut diupayakan lewat pendidikan, penyelenggaraan pendidikan harus memberikan ruang dan peluang bagi subjek-subjek yang terlibat di dalamnya masuk dalam dan terlibat pada proses tertentu yang sifatnya dinamik. Artinya, hal itu menjadi sebuah proses yang memungkinkan adanya perubahan manusia

Indonesia memasuki situasi sadar budaya sebagaimana diidealisasikan. Persoalannya, nilai-nilai budaya yang manakah yang perlu menjadi perhatian utama dalam upaya menuju situasi sadar budaya itu. Dalam konteks kependidikan, nilai-nilai tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan.

Dalarn kaitan tersebut paling tidak terdapat dua macam pandangan. Pertama, adanya pemikiran yang mempertimbangkan kehidupan manusia yang makin mengglobal. Untuk itu, diharapkan akan terbentuk nilai-nilai budaya baru yang bersifat mondial, transnasional, atau pranata nilai budaya yang berada di jalur utama (mainstream) kehidupan di dunia ini. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan tolok ukur yang dapat diterapkan di mana-mana.

Kedua, adanya pemikiran yang bertolak dari kekhawatiran munculnya dampak budaya yang disebabkan oleh globalisasi, terutama sekali, tata ekonomi dan tata informasi. Pemikiran kedua ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul dan tidak menguntungkan bagi wilayah-wilayah kehidupan yang tidak berada di jalur utama. Mereka yang tetap menghayati nilai-nilai budaya lokalnya dikhawatirkan akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan dalam konstelasi informasi dunia, dan seringkali kurang diuntungkan secara material. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan jati diri bangsa, yang ditandai oleh kebudayaannya, akhirnya menjadi isu kemanusiaan yang bersifat sentral.

Sebagai bangsa yang bhineka, kita memiliki dua macam sistem budaya yang sama-sama harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistern budaya nasional Indonesia dan sistern budaya etnik lokal. Sistern budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang berada dalam proses pembentukannya (Sedyawati, 1993/1994). Sistern ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal yang mana pun. Nilai-nilai budaya yang terbentuk dalam sistem budaya nasional itu bersifat menyongsong masa depan, misalnya kepercayaan religius kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bukan kepada yang selain itu; pencarian kebenaran duniawi melalui jalan ilmiah; penghargaan yang tinggi atas kreativitas dan inovasi, efisiensi tindakan dan waktu; penghargaan terhadap sesama atas dasar prestasinya lebih daripada atas dasar kedudukannya; penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan rakyat; serta toleransi dan simpati terhadap budaya suku bangsa yang bukan suku bangsanya sendiri.

Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistern budaya etnik lokal. Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya. Hal tersebut akan menjadi lebih jelas tatkala kita menyadari bahwa budaya posf-kolonial, seperti kita arungi dalam waktu yang cukup lama sebagai bangsa terjajah di masa lalu, pada dasarnya merupakan persilangan dialektik antara ontologi/epestirnologi yang "lain" dan dorongan untuk mencipta dan mencipta ulang identitas lokal yang independen, yang digali dari sumur-sumurkearifan lokal pula.

Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhimya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara. Jadi, ujung akhir situasi sadar budaya yang ingin dicapai bukanlah situasi, seperti kata Fromm (1966), necrophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang bendawi/wujudiah yang tidak berjiwa kehidupan, melainkan situasi biophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang maknawiah yang berjiwa kehidupan.

Tidak ada komentar:

Free Blooming Red Rose Cursors at www.totallyfreecursors.com