27 Januari 2010

latar belakang budaya asing

MEMPERTANYAKAN IDENTITAS BANGSA KITA HARI INI?

AMIIDENTITAS dilihat dari aspek waktu bukanlah suatu wujud yang sudah ada sejak semula dan tetap bertahan dalam suatu esensi yang abadi. Sedangkan dilihat dari aspek ruang juga bukan hanya satu atau tunggal, tetapi terdiri dari berbagai lapisan identitas. Lapis-lapis identitas itu tergantung pada peran-peran yang dijalankan, keadaan objektif yang dihadapi, serta ditentukan pula dari cara menyikapi keadaan dan peran tersebut.

Dengan demikian, di satu sisi identitas akan terbentuk berdasarkan kemauan kita sendiri, sedangkan di sisi lain identitas akan sangat tergantung dari kekuatan-kekuatan objektif yang terjadi di sekitar kita yang mengharuskan kita untuk meresponsnya. Dan, respons tersebut secara tidak langsung juga memberi bentuk lain terhadap apa yang kita anggap sebagai diri kita saat ini.

Identitias bukanlah suatu yang selesai dan final, tetapi merupakan suatu kondisi yang selalu disesuaikan kembali, sifat yang selalu diperbaharui, dan keadaan yang dinegosiasi terus-menerus, sehingga wujudnya akan selalu tergantung dari proses yang membentuknya. Perjalanan sejarah bangsa ini, ketika memasuki era reformasi justru dipenuhi khaos, tambal sulam, bahkan tanpa persiapan yang mamadai untuk menciptakan suatu strategi kebudayaan. Maka ketika arus informasi dibuka dengan lebar, sejalan itu pula televisi telah membentuk kebudayaan massa yang serba cepat.

Identitas, Integrasi dan Kesadaran Nasional

Pembentukan identitas dan karkater bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa merupakan tugas utama pembangunan kebudayaan nasional. Dalam berbagai wacana, pembicaraan tentang pembangunan dan pengembangan kebudayaan nasional sering mengemuka. Namun strategi kebudayaan nasional untuk menjawab wacana tersebut belum banyak dikemukakan dan dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini.

Padahal, gagasan kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakikat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian, dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Berdasarkan kenyataan tersebut sebenarnya ada dua hal pokok yang perlu menjadi titik tolak utama dalam “membentuk” kebudayaan nasional, yaitu identitas nasional dan kesadaran nasional. Di masa awal Indonesia merdeka misalnya, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (di antaranya adalah penghormatan kepada Sang Saka Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Indonesia, dan seterusnya). Sementara kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan pluralisme. Kesadaran nasional selanjutnya dijadikan dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai upaya untuk melepaskan bangsa ini dari subordinasi (ketergantungan, ketertundudukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing.

Mempertanyakan identitas kita, pada dasarnya juga harus dilihat dari tingkat kepentingan serta kapasitas setiap warga negara mengintegrasikan diri dalam suatu komunitas. Artinya, setiap individu dalam suatu komunitas bisa berperan dalam sejumlah identitas berdasarkan tujuan dan kepentingan masing-masing. Konsep identitas telah bergeser menjadi representasi identitas yang tidak lagi merujuk pada suatu ciri suatu kelompok masyarakat. Identitas lebih sebagai wahana terjadinya kontestasi, karena identitas adalah sesuatu yang lentur, dinamis, dan beragam.

Identitas lebih berupa suatu proses negosiasi atas dasar berbagai tujuan dan kepentingan. Identitas akan lebih ditentukan oleh politik kebudayaan. Isu yang berkembang terhadap konsep kebudayaan pun akan mengalami perubahan, seiring dengan perubahan masyarakat dari bersifat plural ke arah multikultural. Maka, muncullah perbedaan antara konsep kebudayaan masyarakat plural dengan masyarakat multikultural dalam hubungannya dengan identitas. Konsep kebudayaan masyarakat plural lebih menekankan adanya sejumlah identitas yang satu dengan lainnya saling berbeda. Sedangkan masyarakat multikultural menganggap bahwa sejumlah perbedaan yang ada dalam satu masyarakat plural dan hiterogen tersebut merupakan bagian dari identitasnya. Dengan kata lain, konsep multikultural mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam identitas yang juga berbeda (intra cultural defferentiations).

Sementara itu, pengertian integrasi – yang lebih berupa suatu kesadaran dan bentuk pergaulan yang menyebabkan berbagai kelompok dengan identitas masing-masing – justru berfungsi secara ganda. Pada suatu sisi integrasi terbentuk kalau ada identitas yang mendukungnya seperti kesamaan bahasa, kesamaan dalam nilai sistem budaya, kesamaan cita-cita politik, atau kesamaan dalam pandangan hidup, bahkan orientasi keagamaan. Pada pihak lain, integrasi yang lebih luas hanya mungkin terbentuk apabila sekelompok orang menerobos identitasnya dan mengambil jarak dari segala yang selama ini dianggap membentuk karakter atau watak kelompoknya. Dengan demikian ia meninggalkan identitasnya, yang kemudian membuka kemungkinan pembentukan integrasi yang lebih luas.

Bertolak dari sejumlah contoh tersebut, maka pada dasarnya integrasi nasional terjadi juga akibat terbentuknya kelompok-kelompok yang dipersatukan oleh suatu isu dan kepentingan bersama, baik yang bersifat ideologis, ekonomis, maupun sosial. Misalnya, kaum buruh membentuk jaringan mereka sendiri untuk membela kepentingan bersama untuk menghadapi kaum majikan dan pemilik modal. Atau para nelayan dan petani akan mengorganisasikan diri secara lintas-etnis dan lintas-daerah dalam suatu blok untuk menghadapi tuntutan dan kepentingan ekonomi. Dengan demikian terbuka peluang terbentuknya suatu interaksi baru yang berlainan dengan pergaulan dalam kelompok etnis, dan memberi kemungkinan terciptanya suatu integrasi yang lebih luas.

Contoh lain, dengan munculnya konsep otonomi daerah. Setiap provinsi dan kabupaten berusaha mendirikan sekolah sendiri baik pada tingkat dasar, tingkat menengah, bahkan pada tingkat perguruan tinggi. Para siswa dan bahkan para mahasiswa yang belajar praktis berasal dari daerah yang sama dan juga dari latar belakang budaya yang sama. Hal ini dalam jangka panjang bukannya tak mungkin akan menyebabkan menyempitnya rasa integrasi, karena integrasi ini kemudian lebih banyak didasarkan pada faktor-faktor etnis, faktor daerah, dan faktor budaya, dan tidak begitu ditentukan lagi oleh visi bersama tentang perkembangan politik dan ekonomi pada tingkat nasional dan internasional. Otonomi daerah juga berimbas pula pada demokrasi pemerintahan yang seharusnya dapat menjadi tempat pergaulan lintas-budaya dan lintas-etnis, sekarang menghadapi bahaya bahwa tiap daerah menuntut agar posisi-posisi birokratis ditempati oleh putra daerahnya sendiri.

Sikap tersebut bukan tanpa sebab, sentralisme politik di Orde Baru untuk waktu yang cukup lama telah menjadikan birokrasi semata-mata sebagai alat pemerintah pusat dan bukan aparat yang menjadi pengatur hubungan di antara masyarakat dan negara. Birokrasi pemerintah daerah tidak memperhatikan kepentingan daerah, tetapi menjadi pelaksana kepentingan pusat di daerah. Daerah seakan-akan menjadi sapi perahan untuk pusat dan birokrasi daerah menjadi tukang susu bukan untuk daerah tetapi untuk pusat. Lalu pada era reformasi, kondisi tersebut seolah ingin segerta dibalik. Dengan otonomi daerah seakan-akan birokrasi pemerintahan hanyalah melayani kepentingan daerah saja, bahkan tidak lagi menjadi perantara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara, atau mesin penghubung kepentingan daerah dan kepentingan nasional. Kalau penyempitan fungsi birokrasi ini terjadi maka bukan saja politik nasional menghadapi resiko politik yang didasarkan pada identitas, tetapi juga birokrasi.

Merespons Globalisasi dan Strategi Kebudayaan Nasional

Kita menyadari bahwa ciri pluralistik telah menandai kebudayaan Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa bersama-sama dengan pedoman berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu beriringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari. Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-suku bangsa yang terdapat di Indonesia itu perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Akan tetapi, pengalaman Orde Baru, kehidupan kebudayaan yang lebih mengedepankan konsep ke”eka”an, dibanding “kebhinekaan” justru telah melahirkan primodialisme, eklusivitas, bahkan dominasi etnik tertentu. Konsep ke “eka” sebagai ekspresi kebudayaan nasional justru terasakan lebih memberhalakan kebudayaan Jawa dan mengerdilkan kebudayaan lokal.

Ketika keperkasaan Orde Baru tumbang, muncullah semangat multikulutral – yang konon lebih memberi pengakuan dan perlindungan terhadap keberagaman kebudayaan. Konsep mulitkulutral, merupakan konsep yang mengakui dan melindungi keragaman budaya serta menyetarakan derajat dari kebudayaan yang berbeda-beda. Semangat mulitkultural yang berusaha untuk mengakui dan melindungi keragaman budaya pada dasarnya telah memberi kekebasan pada setiap budaya untuk bertahan dan berkembang. Semua kebudayaan yang ada harus diberi kebebasan yang sama. Tidak boleh dilakukan pemasungan atau pencekalan, karena hal tersebut bakal melanggar prinsip multikultural.

Akan tetapi semangat multikultural yang membabi-buta kadang justru mengarah pada primodialisme, eklusivitas, dan bahkan membawa pada dominasi kelompok etnik. Sebagai contoh, munculnya semangat “mandarinisasi” sebagai ekspresi kebudayaan kelompok etnik Tionghoa di Indonesia. Sejak Gus Dur mulai memberikan tempat kepada etnis Tionghoa. beberapa keturunan Cina mulai merasa mempunyai harapan untuk memperoleh satu tempat di negeri ini. Paling tidak, mereka boleh merayakan Imlek, membuat realestate ala Pecinan, dan bahkan dengan dukungan ekonomi yang kuat mereka seolah berkompetisi untuk mengekpsresikan kebudayaan yang dianggapnya telah lama diberanggus.

Semangat multikultural bisa terjebak sebagai euforia reformasi, yang bisa jadi menciptakan dominasi suatu kelompok masyarakat. Jika pada masa Orde Baru terjadi dominasi kebudayaan Jawa terhadap etnik lain, maka kini – dengan semangat multikultural—justru lebih memberi peluang menciptakan dominasi masyarakat ekonomi kuat terhadap kelompok masyarakat ekonomi lemah, misalnya.

Perkembangan sosial saat ini – yang lazim termasuk dalam era global – pada dasarnya telah melampaui pemikiran modernitas (yang ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa) menuju pemikiran pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan oleh seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi informasi. Pascamodernitas ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam menandai dinamika sosial dan ekonomi masyarakatnya, terutama dalam mengkonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup daripada fungsi produksi barang yang menjadi ciri khas era industri.

Ratusan tahun negara dan bangsa ini terkungkung dalam arus kolonialisme, puluhan tahun Indonesia berada dalam genggaman otoritarian. Lalu kini, Indonesia menjadi menjadi salah satu satelit yang sekaligus korban proses hegemoni ideologi dari kapitalisme global. Sedemikian besar dan sistematisnya proses tersebut sehingga sepanjang jalinan hubungan dengan kekuatan kapitalisme global tidak terputuskan. Sepanjang Indonesia menjadi satelit tanpa daya.

Kebudayaan yang pada awalnya disikapi sebagai penggambaran keseluruhan atau totalitas cara hidup, kegiatan, keyakinan-keyakinan, adat istiadat dari sebuah komunitas atau masyarakat, kini menjadi sulit untuk didefinisikan. Demikian juga, pengertian kebudayaan nasional Indonesia yang disikapi sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah – seperti yang difatwakan pada era Orde Baru — kini sungguh sulit untuk diimplementasikannya. Pendek kata, negara dan bangsa Indonesia hari ini, secara kultural tidak bisa lepas dari fragmentasi global yang kekuatannya nyaris tak terelakkan.

Di sisi lain dengan adanya dominasi tersebut justru memberi kontribusi memudarnya identitas yang selama ini dijadikan karakteristik sejumlah suku bangsa negeri Nusantara ini. Atau dengan kata lain, fragmentasi global yang kekuataannya tak terelakkan tersebut di satu sisi justru memberi kontribusi memudarnya identitas yang selama ini dijadikan karakteristik sejumlah suku bangsa negeri Nusantara ini. Kendati demikian harus diakui bahwa globalisasi bisa memberi dampak positif. Misalnya, masuknya budaya asing yang memperkaya kebudayaan Indonesia, perubahan pola pikir tradisional menjadi pola pikir rasional, sistematis, dan analitis. Selain itu, globalisasi justru akan menambah berkembangnya ilmu pengetahuan dan cara berpikir kritis.

Tantangan bagi bangsa Indonesia akibat globalisasi memang mengancam eksistensi jati diri bangsa Indonesia. Sebut saja terjadinya guncangan budaya (cultural shock). Untuk itulah, sebuah strategi kebudayaan nasional membutuhkan suatu diskusi panjang yang diharapkan mampu memberi kontribusi berharga bagi pudarnya identitas yang terpecah terhadap negara dan bangsa.

Lalu, bagaimana menyikapi kita menyikapi arus globalisasi seperti sekarang ini, mari kita diskusikan. Dari sinilah kita mulai.

Tidak ada komentar:

Free Blooming Red Rose Cursors at www.totallyfreecursors.com